iseng, on the time the electricity went off

by

Pukul sebelas malam, langit terang tetapi rumahku gelap.

Sudah empat jam sejak lampu rumah padam dan televisi tidak dapat menyala. Nyala api kecil yang jadi satu-satunya sumber cahaya sudah hampir menelan habis batang lilin penyangganya. Ini lilin terakhir kami, dan aku khawatir tak sampai sepuluh menit lagi tak akan ada penerangan di rumah kami.

Gelap ini membunuh. Hingga nyaris tak ada yang tersisa yang dapat kami lakukan. Sebab hampir semua kegiatan yang dilakukan bergantung pada kabel panjang dan dua plat logam di ujungnya, yang mengalirkan listrik dari pusatnya, entah dimana.

Namun gelap ini menghidupkan. Karena dalam gelap kami akan saling mencari, lalu duduk bersama tanpa sedikitpun sosok satu sama lain dapat ditangkap dengan mata. Dan indra lain menjadi siaga.

Tak ada yang dapat dilakukan, kecuali menyambung percakapan. Berbicara tentang kehidupan, tentang keseharian. Tentang hal-hal kecil dan sederhana yang selama ini terlewatkan karena listrik telah mencuri perhatian.

Aku, dia, duduk bersama. Berbagi hidup, bukan pada layar televisi, bukan pada koneksi internet, tetapi satu sama lainnya.

Ini tentang momen berharga yang kembali dihidupkan oleh listrik yang padam.