Dari peron Stasiun Kalibata,

Selamat malam dari peron Stasiun Kalibata. Malam ini hujan deras, jenis hujan deras yang akan membuatmu basah kuyup, berpayung atau tidak. Dan ini pasang sepatu terakhir saya.

Hujan di Jakarta itu selalu panas menurut saya. Hujan yang lembap. Aneh. Hujan di stasiun kereta lebih aneh lagi. Kemeja dan jins saya menempel lekat ke kulit, dan udara di stasiun kereta adalah udara lembap dan berkeringat.

Kereta jam enam sore adalah kelindan lengan dan punggung dan dada dan keringat di udara dan napas orang asing di belakang kepala. Ruang-ruang kosong adalah hal yang tabu dan stasiun perhentian adalah pertaruhan untuk memperebutkannya: desak dan sikut dan decakan kesal dan selorohan nada tinggi adalah senjatanya.

Bagi manusia, perjalanan punya pemaknaan yang mendalam. Ia dapat mengubah pemikiran, memberikan momen kontemplatif kehidupan, menelanjangi watak setiap orang. Bicara perjalanan, kita berpikir tentang banyak hal: liburan keluar dari perkotaan mencari pemandangan dan pengalaman, berkendara jauh bersama teman untuk perbincangan dan lamunan-lamunan di jalan, ekskursi spiritual untuk berpikir tentang Tuhan.

Stasiun ini bukan stasiun yang akan saya rekam sebagai bagian dari "perjalanan". Tidak seperti Lempuyangan atau Gubeng, misalnya: stasiun-stasiun itu adalah bagian dari perjalanan dua belas jam di kereta, stasiun yang memberi momen kontemplatif, atau kenangan berbincang bersama kawan atau bahkan sandaran pundak seseorang. Stasiun Kalibata selalu saya lewati dengan langkah terburu-buru dan napas yang lega setelah lepas dari kerangkeng gerbong-gerbong kereta. Saya tidak berpikir tentang perjalanan. Saya hanya berpikir tentang pulang. Pun, bukan jenis "pulang" yang konteksnya romantis.

Duduk disini membuat saya berpikir tentang perjalanan harian jam enam sore melewati rute stasiun Sudirman-Kalibata ini. Perjalanan harian, sederhana, tanpa romantisme dan signifikansi momen kebersamaan. Tapi mungkin bicara perjalanan, tak akan ada yang lebih signifikan bagi kehidupan daripada perjalanan berdesakan di kereta ini.

Pagi tadi, saya membaca sebuah artikel tentang hubungan perjalanan harian dan kebahagiaan. Orang-orang yang menghabiskan waktu lebih sedikit di perjalanan cenderung lebih bahagia dari mereka yang menghabiskan berjam-jam untuk perjalanan. Membacanya, saya tak bisa tak teringat dengan sikutan dan desakan, selorohan dan sindiran, bahkan sekali dua kali kegaduhan besar-besaran di peron dan gerbong-gerbong kereta. Ia tidak romantis, dalam permukaannya tak terlihat seperti momen kontemplatif, tapi seperti yang kita selalu pikirkan tentang perjalanan, ia begitu signifikan dalam mendefinisikan diri kita.