foreeeeeeeever young
by fathina diyanissa
lagi sering denger lagu itu deh di prambors. foreeeeever young, i want to be foreeeeever young... do you really want to live forever... forever... and ever... huouooooo (hmm ga ada ketang ga ada huouooo-nya haha)
hmm.
iyalah. kadang-kadang pengen forever young. haha.
kadang-kadang, suka ada saatnya saya pengen cepet-cepet ngeskip hidup lima atau enam tahun. pengen cepet-cepet mengalami being twenty-something, an independent woman who lives on her own, having a fiancee and about to get married. it sounds interesting (atau mungkin saya cuma pengen ngeskip sekolah dan kuliah aja ya? haha)
tapi sekarang saya lagi lebih mikirin, saya ga pengen ninggalin masa muda masa penuh gejolak jiwa haha.
living an adolescent life is so exciting. flashing back to the second grader life, dimana hidup bener-bener bergejolak. and there was i, sixteen and absolutely a very impulsive girl. hidup hedonis dan (sedikit) sekuler. waktu itu saya merasa hidup untuk masa sekarang. bolos sekolah, main kemana-mana, pulang malam, dimarahin orangtua. mana ada kepikiran sekolah, kepikiran masa depan, kepikiran akhirat. ada sih kepikir, tapi cuma selewat. baru di akhir-akhir kelas dua, kayanya hidup agak lebih bermutu haha.
saya ga bisa bilang itu fase hidup terbaik saya. bahkan mungkin paling ancur kali ya. kayanya waktu itu saya ga dewasa, bener-bener kekanakan. tapi saya bisa bilang, kelas dua itu masa hidup yang sangat menyenangkan. sangat sangat menyenangkan.
dan sekarang di kelas tiga. di luar seluruh ketegangan dan kegalauan menuju masa depan gemilang (haha apa sih), saya bisa bilang saya cukup nyaman. saya hidup bukan cuma untuk sekarang. saya banyak berpikir. mengolah masa lalu, merencanakan masa depan. saya banyak tenggelam dalam pikiran-pikiran saya. saya banyak berkhayal tentang masa depan saya.
saya senang hidup di tengah teman-teman saya, semua penuh semangat dengan mimpi masing-masing. semua menyatakan dengan percaya diri, masa depan yang mereka impikan. saya melihat passion-passion di sekeliling saya. saya melihat calon desainer, calon engineer F1, calon arsitek, calon direktur rumah sakit, calon pemilik SPBU, dan pekerjaan-pekerjaan mengagumkan lainnya. dan saya luar biasa bersyukur punya teman-teman seperti mereka, dengan mimpinya yang luar biasa, dan usaha keras masing-masing untuk mencapainya. dan saya banyak terlibat obrolan berkualitas dengan mereka. berbagi mimpi, saling menyemangati, saling mendukung.
saya bersyukur punya teman-teman seperti mereka.
dan sekarang, saya takut.
seperti halnya perasaan takut kehilangan saat memiliki sesuatu yang berharga, saya takut. saya punya mimpi yang berharga, saya takut kehilangannya.
saya takut menghadapi masa depan. masa depan yang bisa dengan mudah merampas mimpi saya.
saat ini, setiap kali saya melihat karyawan-karyawan kantoran, yang setiap hari pulang kerja dengan wajah kusut, terlihat tidak puas dengan hidup mereka sendiri, saya suka bertanya-tanya: apa ya mimpi mereka saat mereka seusia saya sekarang? pasti mereka punya mimpi besar seperti kita kan? lalu ternyata mereka harus menyerah dari mimpi itu dan ikut terjebak bersama jutaan orang lainnya di hidup yang.... begitu klise?
saya takut di masa depan nanti, saya akan kehilangan passion itu. kehilangan mimpi itu. apa yang paling menakutkan dari menjadi dewasa adalah, melepas impian masa muda lalu menjalani hidup membosankan yang melenceng jauh dari hidup yang kita rencanakan dengan penuh semangat di usia belasan kita. saya tidak mau berakhir menjadi (maaf ya ga maksud menyinggung) pegawai negeri yang masuk kerja pukul tujuh dan pulang pukul lima, bangun setiap paginya dengan penat karena rutinitas yang menyiksa, pekerjaan dan profesi malah menjadi beban. saya takut saya kehilangan mimpi saya. saya takut teman saya yang calon engineer F1 malah berakhir bekerja di, katakan saja, perusahaan multinasional yang mentereng tapi saya tahu dia tidak akan nyaman di sana.
apa yang akan terjadi dengan mimpi kita, tujuh atau delapan tahun lagi?
saya punya teman-teman yang luar biasa. mereka semua spesial. mereka semua bisa menjadi orang besar. sayang rasanya jika mereka hanya berakhir membuang potensi mereka. saya sudah cukup sering mendengar cerita ironis ayah saya, tentang teman-temannya yang cerdas di kuliah tapi berakhir jadi tukang ojek. atau tentang orang (saya lupa namanya) yang menjadi mahasiswa termuda di harvard tapi berakhir jadi tukang pulung. saya tidak mau kelak menjadi pelakon cerita-cerita ironis itu.
i'll stick to my dreams.
i'll never give up on it.
so promise me friend, that you will never give up on your dreams as well.