Sastra dan fotografi sama-sama memecah-mecah aliran realita ke dalam unit-unit yang bisa disimpan. Dengan cara demikian, unit itu bisa dikuasai, dipergunakan, disusun ulang, dikembangkan. Memang, sastra tidak punya problem etis yang ada dalam fotografi, karena bahasa tak pernah betul-betul menyalin realita. Tapi persis di situlah problem utama bahasa. Ia tak pernah betul-betul menemui realita. Ia adalah sepenuhnya sistem tanda, yang tak pernah bersentuhan langsung dengan kenyataan. Fotografi mencuri, menjiplak, menyalin realita. Bahasa membangun model sendiri tentang realita, tanpa persentuhan dengan realita. Para linguis era modern telah lama memetakan bahwa tak ada kontak langsung antara kata dengan referensinya. Apapun yang diketahui melalui bahasa adalah palsu belaka. KW dari suatu ORI yang tak terjangkau.
Ayu Utami dalam Estetika Banal dan Spiritualisme Kritis, bacaan singkat yang menarik.