simalakama
rasanya seperti asma di ruangan lembap.
aku menarik napas, tak mendapat apa yang kumau,
lalu putus asa, namun insting menginginkan hidup
membuatku, terengah dan termegap-megap, tetap menarik napas,
menghirup, sebanyak mungkin dari hidung dan mulutku
kendati tak banyak yang bisa kudapat,
dan setiap tarikan, setiap tarikan napas berikutnya
semakin menyiksa.
mataku buram namun semakin jelas terlihat,
di tengah usaha yang semakin lelah untuk mencari udara,
harapan yang semakin menipis, perlahan hilang.
menyakitkan, pikirku, lebih baik mati saja.
namun nyatanya tak bernapas pun lebih menyakitkan,
sambil menertawakan diri sendiri akan ironi ini aku pun kembali mencoba menarik napas lagi.